Senin, 10 Mei 2021

[Aku sudah Sebagaimana mestinya]

[Aku sudah Sebagaimana mestinya]

Dan matahari tak pernah ingkar, 
Tentang dia yang selalu sabar beredar. 
Sehingga siang dan malam ia pastikan manusia menyaksikan, 
Begitu pula langit tak akan pernah tersenyum, 
Apalagi menangis. 
Betapa menyusahkannya, 
Jika dia selalu menyesuaikan setiap rasa anak adam tiap harinya. 

Semesta tak mau ambil pusing, 
Minggu atau Senin atau kapanpun. 
Tawar-menawar tak bisa dilakukan, 
Tentang cerah atau mendung di siang hari. 
Tentang sepoi-sepoi atau badai di malam hari. 

Sungguh mereka tak peduli, 
Mereka hanya bekerja sebagaimana mestinya terjadi. 
Mereka juga tak pernah berkata, 
Manusia hanya melebihkannya saja. 

Kata tinggal lah kata, 
Api pun membakar kayu menjadi abu. 
Hujan pun membawa angin mengusir debu. 
Semesta tak akan pernah cemburu, 
Dia pun tuli, 
Terlebih kepada manusia. 
Yang kerap mengadu domba karena tawar-menawar nya tak diterima sesuai keinginannya. 

Lalu anak adam selalu berkata, "Biarlah semesta yang mengatur semuanya."
Semesta diam dan bisu. 
Jika ada kata yang ingin dikeluarkan, jawabannya akan sama kepada semua pernyataan. 
"Aku sudah bekerja dan mengatur sebagaimana mestinya."

10 Mei 2021
Cinere, febri zainal arifin

Selasa, 02 Maret 2021

[Yang Terbawa Ombak]

[Yang Terbawa Ombak]

Dan tidak ada yang lebih baik.
Dari buku yang terbuka terbalik,
Lebih baik tidak dibaca dan tertutup, 
Ketimbang terbuka dan terbaca namun membuat seseorang merasa pintar dari yang lain. 
Buku lebih baik menjadi asing, 
Ketimbang dibaca oleh seseorang
Yang merasa sakti sehingga merasa asing di kampungnya sendiri. 
Dia lupa, 
Dia hanyalah buih
Yang tak sengaja terbawa ombak, 
Lalu hilang saat mengecup bibir pantai sore tadi. 

03/03/2021
Febri Zainal Arifin

Senin, 08 Februari 2021

[Sisa-Sisa]

[Sisa-Sisa]

Sisanya,
Tak Pernah Ada.
Hanya sepatu usang yang membungkus kakiku untuk melangkah.

Sisanya, 
Memanglah Misteri.
Tentang bagaimana aku jatuh cinta kepada Kau.

Sisanya,
Aku sukar untuk percaya.
Sesederhana memang dirimulah yang aku cinta.

Sisanya, 
Tentang kewajaran-kewajaran dunia.
Wajar saja kita cedera lalu kita balut dan tetesi obat merah.

Sisanya,
Ialah tentang keterbatasan manusia.
Tentang usaha yang selalu kita jaga tapi hasil biarlah rahasia semesta.

Sisanya,
Mungkin tentang kehilangan kesabaran.
Kesabaran semesta yang selalu saja menjadi jawaban atas pertanyaan yang terjawab tapi tak sesuai harapan.

Mungkin dia berkata.
Apapula manusia, Bila menyerah selalu berkata.
Biarlah Semesta yang mengatur semuanya.

7 April 2019
Febri Zainal Arifin

Sabtu, 23 Januari 2021

[Helianthus Heliotropisme]

[Helianthus Heliotropisme]

Inilah Aku si Bunga Matahari
Yang tertunduk tak semangat di Januari

Mau bagaimana lagi
Aku berkepala besar
Sudah begitu hidup bertangkai sebatang sendiri

Tapi aku coba bersabar
Membiarkan Si Lebah
Hinggap meminum nektar
Memproduksi madu 
Yang disimpan untuk kemudian hari
Walau kadang suka dicuri

Beginilah aku 
Pucat pasi daun ku di Januari
Musim hujan begini
Memang sulit untuk aku si Heliotropisme
Maksud ku Pengagum Matahari
Atau sering disebut Pecinta Senja dan Pagi Hari

24 Januari 2021
Febri Zainal Arifin

Minggu, 10 Januari 2021

[Tentang Tanya]

[Tentang Tanya]

Aku dari luar
Dan tak sadar.
Tiba-tiba sudah di kamar lagi, 
Terbaring. 

Bangun-bangun sudah di alam mimpi. 
Di mimpi ini, 
Aku sangat sadar, 
Ternyata aku bermimpi di alam mimpi. 

Disanaa aku melihat diriku sendiri. 
Sedang bercengkrama dan berbicara dengan  purnakaryawan. 

Aku bertanya, tentang bahasa yang dijadikan prinsip. 
Dan usaha menjadi tempat dimulainya nasib. 
Pikiran mengolah dan menyimpan arsip. 
Tentang rasa yang dijadikan kulit. 
Dan hati yang tak kalah dengan andai. 

Purnakaryawan itu tertawa, 
Hidupmu jangan terbesit untuk mati. 
Maka matilah untuk hidup, agar kelak kau bertemu dirimu yang lebih muda lagi. 
Seperti aku yang bertemu denganmu. 

Cukup sudah, setidaknya sadarlah pada kenyataan. 
Jangan keok dengan harapan. Pahamilah kemampuan. 

Di dunia yang tak sadar, tanda tanya akan dijawab dengan tanda seru. Bahkan tak jarang tanya dibalas tanya, jawab dibalas jawab. 

Mampuslah orang-orang yang merasa menang. 

Lalu kesadaran di mimpi itu pergi, aku terbangun dan tidak sadar aku harus pergi lagi pagi ini.

10 Hari Awal Bulan Pertama, 2021
Febri Zainal Arifin

[Angin Tepuk Anlinia Untuk-ku]

[Angin Tepuk Anlinia Untuk-ku]

Dari Utara, 
Di Bumi bagian Selatan, 
Matahari lalu lalang dari timur ke barat. 

Dan di Januari
Di Bulan kedua musim panas Bumi bagian Selatan. 

Kita bertemu dan bersemi, 
Yang absurd. 
Langit di Bumi Pertiwi Curah Tangisnya lebih sering ditemui, 
Khususnya September hingga Maret. 

Kembali ke Januari, 

Yang diakhiri di hari yang sama dengan Februari dan Oktober. 

Lalu dimulai dan diakhiri di hari yang sama seperti Mei di Buku Tahun Sebelumnya. 

Dan terakhir dimulai dihari yang sama dengan April dan Juli pada Warsa Kabisat. 

Inilah bulan awalan dimana kenyataan dan harapan bisa di pertemukan. 

Di Malam Lima Januari, 
Langit menangis deras, air terbentur dan jatuh diacak-acak angin. 

Anlinia, Ku memang sedang membuka buku baru. 

Diawal ku bingung mengisi apa
Lalu ku ingat, Alinea harus ku susun. 
Dan Anlinia adalah wacana awal dari rencanaku. 

Kau bilang tak hujan disana, padahal kita hanya berjarak angka saja. 

Lalu ku keluar ku tebas angin dengan telapak. 

Dan kau tau? Dia marah, kenapa aku diusir tanya si angin. 

Ku bilang pergi sana ke tempat yang lebih tinggi, bawa air yang tersisa di awan. 

Bagikan dingin untuk Anlinia, jangan di pukul. Tepuk saja perlahan. 

Lalu kabarkan aku yang mengirimmu,
Sampaikan "Rindu pun lahir dari sebongkah penasaran yang membuat candu. Tak peduli Jarak tak peduli suku"

Tabahlah Anlinia, Biarkan angin dulu yang menemanimu.

Cinere, 6 Januari 2021
Febri Zainal Arifin

Minggu, 03 Januari 2021

[Kemabukan yang Menyadarkan Kesadaran]

[Kemabukan yang Menyadarkan Kesadaran]

Tring.. Pesan masuk tanpa hambatan. 
Kala aku termenung di depan kemajuan zaman, 
Dimana hidup bisa bertemu dan bersekolah lewat jaringan. 

"Feb, dimana? sini belakang, jangan terus bersemayam"
"Ngopi, ayo habiskan malam dengan cacian"
"Cepat, Kita hanya lulusan SMP dan SLA butuh calon Sarjana untuk menengahkan. Sebelum hidup gagal benar-benar."

Dalam hati ku bergumam "Ku butuh Istirahat"
Mata sayu, badan kurus payah, pikiran insubordinat bahkan hati padat penat. 
Lalu aku bermunajat, Tuhan berikan aku istirahat yang tepat. 

Lalu aku beranjak pergi, mengaminkan keinganan beberapa sahabatku. 
Dimas, Ucup, Alpi dan Andri. 
Ku rasa aku akan belajar banyak pagi hitam ini. 

"Tuh dia" Kata si Andri
"Minum lagi?" Sapaku dalam langkah yang belum berhenti. 
"Tenang, cuma menghangatkan aja kali ini. Untung lu datang, ga bakal kita tambah lagi."
Aku menyeringai dan mantap melendeh kali ini. 

Obrolan pun berlanjut, 
Banyak cerita. 
Dari kerinduan yang tak akan ditemukan lagi. Seperti bermain benteng saat kecil, 
Bermain bola hingga tunggang gunung. 

Lalu silih berganti, 
Tentang orangtua kita yang saling meremehkan bahwa anak tetangganya tak akan hidup sukses nanti. 
Tak bisa berusaha dan hidup mandiri. 

"Rasanya kesal, diremehkan. Tapi sedikit demi sedikit kita bisa buktikan."
"Seolah tak bisa maju dan tak punya kesempatan"
Lalu ditenggak habis sisa minuman. 
Aku menyeletuk. 
"Ngajak ngopi tak ada kopi, cuci gelasnya ganti menu jadi kopi"

Kopi pun tiba, aku langsung hirup aromanya. Mendengarkan penilaian tetangga memang membuatku haus sekali. 
Hilang sudah segala kesah dan keluh yang hinggap di tubuhku tadi. 

"Asal kau tau feb, kaulah pembanding tertinggi di lingkungan ini. Tapi kami tak pernah sakit hati, karena kami pun berharap kau bisa merubah kami."
"Tak Minum, Tak Merokok, Calon Sarjana. Sempurna, itulah harapan para orang tua kami."
Aku terdiam, obrolan terhenti. 

Ku tahan lalu keras aku bicara
"Bangsat! Aku tak sesempurna yang mereka bilang."
"Siapa yang sebenarnya mabuk?"
"Bajingan, Di dalam Kemabukan kalian mengibarkan kejujuran. Dan di dalam Kesadaran aku mengibarkan penghianatan"

Anifrasis bentuk nyata, siapa yang mabuk siapa yang sadar. 
Siapa yang jujur siapa yang hianat. 
Dan kali ini kami tertawa puas hingga si dimas tewas terlelap. 

Lalu tarhim subuh berkumandang, seketika kita pun pulang. 
Pukul lima pagi itu. 
Aku tertawa sampai menangis "Ya Tuhan, Kau benar-benar tau apa yang ku butuhkan. Terima kasih atas istirahat yang benar-benar tepat."

Gang Buntu, Pangkalan Jati. 
3 Januari 2020
Febri Zainal Arifin